Siaga HIV/AIDS... Permintaan kewaspadaan terhadap penyakit tersebut disampaikan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya karena jumlah
penderita HIV/AIDS di Surabaya terus meningkat. Terhitung sejak 2007
sampai 2011 tercatat 5.576 kasus HIV/AIDS. Jumlah itu belum termasuk
jumlah penderita pada akhir Juni 2012 yang sudah mencapai 127 orang.
Selain
itu, jumlah itu merupakan korban yang terdeteksi Dinas Kesehetan
(Dinkes) Pemkot Surabaya, sementara korban yang belum terdata atau belum
diketahui diperkirakan mencapai dua kali lipatnya.
Kepala Dinkes
Pemkot Surabaya, Esty Martiana Rachmie menuturkan penderita HIV/AIDS di
Surabaya seperti fenomena gunung es. Artinya yang terlihat hanya
sebagaian saja, sementara jumlah yang sebenarnya bisa lebih banyak lagi.
“Ini jadi peringatan dini bagi kita semua untuk selalu waspada,” ujar
Esty Martian, Kamis (25/7).
Jumlah penderita, katanya, setiap
tahun mengalami peningkatan. Lihat saja sejak 2007 jumlah penderita
HIV/AIDS ada 214 orang. Jumlah itu meningkat karena pada 2008 mencapai
262 orang. Kemudian apda 2009 jumlahnya mencapai 257 orang. Pada 2010
tercatat 222 orang. Pada 2011 tercatat 175 penderita dan pada Juni 2012
ini sudah tercatat 127 penderita.
“Kalau pun ada penurunan itu
biasanya data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pihak ketiga
lainnya sudah tak aktif lagi dalam memantau masalah ini. Jadi sebenarnya
setiap tahun selalu saja ada peningkatan untuk penderita HIV/AIDS,”
ungkapnya.
Dari semua data itu, katanya, sebagian besar
diperoleh dari lokalisasi yang tersebar di Kota Pahlawan. Di antarnya,
lokalisasi Dolly, Jarak, Dupak Bangunsasri, Moroseneng dan Sememi.
Sementara data untuk penderita dari Pekerja Seks Komersial (PSK) yang
biasanya mangkal di hotel, kos, maupun on call belum bisa diperoleh.
Selain
itu, katanya, tak semua PSK mau dites. Hal itu karena PSK yang ada di
Surabaya, seperti di Dolly, Dupak Bangunsari, Sememi dan Moroseneng yang
jumlahnya sekitar 1.200 PSK, hanya 40% saja yang mau memeriksakan
kesehatannya. Sisanya mereka memilih untuk lari ketika ada pemeriksaan.
“Selain itu, kami juga tak bisa memaksa PSK untuk melakukan tes
kesehatannya,” terangnya.
Yang lebih memprihatinkan, dari
keseluruhan temuan kasus HIV/AIDS di Surabaya, 62,7 persen di antaranya
tergolong usia produktif. Yakni, usianya antara 20-39 tahun. Belum lagi
efeknya terhadap keluarga dan orang-orang di sekitarnya. “Ini jelas
situasi yang mengkhawatirkan, karena dampaknya sangat luas yang
mengakibatkan kualitas hidup menurun, produktivitas kerja terganggu, dan
lain sebagainya,” kata Esty.
Menurutnya, masalah ini atau penularan
HIV/AIDS di Surabaya sudah menjadi persoalan serius yang membutuhkan
pola penanganan yang tepat. Karena itu, Pemkot Surabaya di samping
mengalokasikan budget khusus untuk pencegahan dan penanganan ODHA (Orang
dengan HIV/AIDS) juga intensif menggelar forum komunikasi penanggulan
penyebaran HIV/AIDS.
Penyebab utama penularan virus paling
mematikan ini karena hubungan seks bebas. Sementara penyebab kedua
karena terlibat dalam pengunaan narkoba. “Sekarang ini sudah terjadi
pergeseran cara penularan, lima sampai enam tahun lalu didominasi
pengguna narkoba, kini hubungan seks menempati urutan pertama penularan
HIV/AIDS,” katanya.
Pemkot sendiri, katanya, bersama dengan
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mengajak semua pihak untuk berperan
aktif, termasuk aparat kepolisian, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Selama
ini penularan HIV/AIDS menjadi persoalan serius yang membutuhkan pola
penanganan yang tepat. Untuk itu, Pemkot Surabaya di samping
mengalokasikan budget khusus untuk pencegahan dan penanganan ODHA.
Pada
30-31 Mei lalu, lanjutnya, telah dilaksanakan pelatihan penanggulangan
HIV/AIDS bagi staf Kepolisian Sektor se-Surabaya guna mengintegrasikan
upaya menghadapi pengguna narkoba yang mempunyai permasalahan hukum
terkait dengan kejahatan narkoba maupun tindak pidana lainnya.
“Diharapkan
melalui forum ini, tercipta kesamaan persepsi dan komitmen pihak
kepolisian terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS. Juga adanya dukungan
akses layanan kesehatan bagi ODHA akibat penggunaan alat suntik
(penasun) yang berada di tahanan Lapas maupun tahanan kepolisian,” jelas
Esty.
Sementara untuk penyebaran virus HIV/AIDS di kalangan muda
membuat keprihatinan tersendiri bagi warga Surabaya. Pergaulan bebas dan
kemudahan kelompok muda dalam memperoleh narkoba maupun seks bebas
menjadi akar persoalan.
Keprihatinan itu membuat Pemkot
melakukan upaya jemput bola dalam memotong penyebaran virus paling
menakutkan di dunia. Saat ini, Pemkot mendesak adanya muatan lokal
(mulok) HIV/AIDS pada pelajaran di sekolah.
“Sebenarnya Pemkot sudah
menyiapkan Perda HIV-AIDS. Di dalamnya ada aturan yang menangkal
penyebaran virus di tingkatan kelompok muda. Tapi Perdanya memang belum
disahkan sampai sekarang. Ini masih disusun,” ujar Esty.
Ia
melanjutkan, meskipun Perda belum disetujui, pihaknya tetap bersinergi
dengan Dinas Pendidikan (Dispendik) untuk memasukkan mulok. Artinya,
mulok yang dimasukan Dinkes ke tiap sekolah bukan diajarkan sebagai
ekstrakurikuler, tapi sudah masuk ke tiap pelajaran. “Jadi nanti di
semua pelajaran ada mulok yang menjelaskan tentang HIV/AIDS. Pelajaran
IPS ada, IPA ada, bahasa juga ada,” tegasnya.
Dengan adanya mulok,
katanya, siswa di sekolah diberikan pengetahuan yang luas tentang
HIV-AIDS. Termasuk di dalamnya tentang penyebaran yang bisa dihindari.
“Kalau mulok tak perlu menunggu Perda, jadi bisa dijalankan dengan
segera,” jelasnya.
Esty juga membeberkan, Pemkot juga menjalin
kerjasama dengan LSM di Surabaya yang fokus pada penanganan korban
virus HIV/AIDS. Ada pendamping yang akan membantu korban untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. “Ini masih terus berjalan, kalau ada
korban atau informasi kami langsung turun dan menemui korban,” katanya.
Ketua
Aisyiyah Jatim itu menambahkan, untuk tempat berobat bagi korban
HIV/AIDS hanya ada di RSU dr Soetomo. Sampai saat ini puskesmas yang ada
di tiap kecamatan belum bisa memberikan layanan pada para korban.