Rabu, 25 Juli 2012

Siaga HIV/AIDS....di Surabaya

 

Siaga HIV/AIDS... Permintaan kewaspadaan terhadap penyakit tersebut disampaikan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya karena jumlah penderita HIV/AIDS di Surabaya terus meningkat. Terhitung sejak 2007 sampai 2011 tercatat 5.576 kasus HIV/AIDS. Jumlah itu belum termasuk jumlah penderita pada akhir Juni 2012 yang sudah mencapai 127 orang.
Selain itu, jumlah itu merupakan korban yang terdeteksi Dinas Kesehetan (Dinkes) Pemkot Surabaya, sementara korban yang belum terdata atau belum diketahui diperkirakan mencapai dua kali lipatnya.
Kepala Dinkes Pemkot Surabaya, Esty Martiana Rachmie menuturkan penderita HIV/AIDS di Surabaya seperti fenomena gunung es. Artinya yang terlihat hanya sebagaian saja, sementara jumlah yang sebenarnya bisa lebih banyak lagi. “Ini jadi peringatan dini bagi kita semua untuk selalu waspada,” ujar Esty Martian, Kamis (25/7).
Jumlah penderita, katanya, setiap tahun mengalami peningkatan. Lihat saja sejak 2007 jumlah penderita HIV/AIDS ada 214 orang. Jumlah itu meningkat karena pada 2008 mencapai 262 orang. Kemudian apda 2009 jumlahnya mencapai 257 orang. Pada 2010 tercatat 222 orang. Pada 2011 tercatat 175 penderita dan pada Juni 2012 ini sudah tercatat 127 penderita.
“Kalau pun ada penurunan itu biasanya data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pihak ketiga lainnya sudah tak aktif lagi dalam memantau masalah ini. Jadi sebenarnya setiap tahun selalu saja ada peningkatan untuk penderita HIV/AIDS,” ungkapnya.
Dari semua data itu, katanya, sebagian besar diperoleh dari lokalisasi yang tersebar di Kota Pahlawan. Di antarnya, lokalisasi Dolly, Jarak, Dupak Bangunsasri, Moroseneng dan Sememi. Sementara data untuk penderita dari Pekerja Seks Komersial (PSK) yang biasanya mangkal di hotel, kos, maupun on call belum bisa diperoleh.
Selain itu, katanya, tak semua PSK mau dites. Hal itu karena PSK yang ada di Surabaya, seperti di Dolly, Dupak Bangunsari, Sememi dan Moroseneng yang jumlahnya sekitar 1.200 PSK, hanya 40% saja yang mau memeriksakan kesehatannya. Sisanya mereka memilih untuk lari ketika ada pemeriksaan. “Selain itu, kami juga tak bisa memaksa PSK untuk melakukan tes kesehatannya,” terangnya.
Yang lebih memprihatinkan, dari keseluruhan temuan kasus HIV/AIDS di Surabaya, 62,7 persen di antaranya tergolong usia produktif. Yakni, usianya antara 20-39 tahun. Belum lagi efeknya terhadap keluarga dan orang-orang di sekitarnya. “Ini jelas situasi yang mengkhawatirkan, karena dampaknya sangat luas yang mengakibatkan kualitas hidup menurun, produktivitas kerja terganggu, dan lain sebagainya,” kata Esty.
Menurutnya, masalah ini atau penularan HIV/AIDS di Surabaya sudah menjadi persoalan serius yang membutuhkan pola penanganan yang tepat. Karena itu, Pemkot Surabaya di samping mengalokasikan budget khusus untuk pencegahan dan penanganan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) juga intensif menggelar forum komunikasi penanggulan penyebaran HIV/AIDS.
Penyebab utama penularan virus paling mematikan ini karena  hubungan seks bebas. Sementara penyebab kedua karena terlibat dalam pengunaan narkoba. “Sekarang ini sudah terjadi pergeseran cara penularan, lima sampai enam tahun lalu didominasi pengguna narkoba, kini hubungan seks menempati urutan pertama penularan HIV/AIDS,” katanya.
Pemkot sendiri, katanya, bersama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mengajak semua pihak untuk berperan aktif, termasuk aparat kepolisian, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Selama ini penularan HIV/AIDS menjadi persoalan serius yang membutuhkan pola penanganan yang tepat. Untuk itu, Pemkot Surabaya di samping mengalokasikan budget khusus untuk pencegahan dan penanganan ODHA.
Pada 30-31 Mei lalu, lanjutnya, telah dilaksanakan pelatihan penanggulangan HIV/AIDS bagi staf Kepolisian Sektor se-Surabaya guna mengintegrasikan upaya menghadapi pengguna narkoba yang mempunyai permasalahan hukum terkait dengan kejahatan narkoba maupun tindak pidana lainnya.
“Diharapkan melalui forum ini, tercipta kesamaan persepsi dan komitmen pihak kepolisian terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS. Juga adanya dukungan akses layanan kesehatan bagi ODHA akibat penggunaan alat suntik (penasun) yang berada di tahanan Lapas maupun tahanan kepolisian,” jelas Esty.
Sementara untuk penyebaran virus HIV/AIDS di kalangan muda membuat keprihatinan tersendiri bagi warga Surabaya. Pergaulan bebas dan kemudahan kelompok muda dalam memperoleh narkoba maupun seks bebas menjadi akar persoalan.
Keprihatinan itu membuat Pemkot melakukan upaya jemput bola dalam memotong penyebaran virus paling menakutkan di dunia. Saat ini, Pemkot mendesak adanya muatan lokal (mulok) HIV/AIDS pada pelajaran di sekolah.
“Sebenarnya Pemkot sudah menyiapkan Perda HIV-AIDS. Di dalamnya ada aturan yang menangkal penyebaran virus di tingkatan kelompok muda. Tapi Perdanya memang belum disahkan sampai sekarang. Ini masih disusun,” ujar Esty.
Ia melanjutkan, meskipun Perda belum disetujui, pihaknya tetap bersinergi dengan Dinas Pendidikan (Dispendik) untuk memasukkan mulok. Artinya, mulok yang dimasukan Dinkes ke tiap sekolah bukan diajarkan sebagai ekstrakurikuler, tapi sudah masuk ke tiap pelajaran. “Jadi nanti di semua pelajaran ada mulok yang menjelaskan tentang HIV/AIDS. Pelajaran IPS ada, IPA ada, bahasa juga ada,” tegasnya.
Dengan adanya mulok, katanya, siswa di sekolah diberikan pengetahuan yang luas tentang HIV-AIDS. Termasuk di dalamnya tentang penyebaran yang bisa dihindari. “Kalau mulok tak perlu menunggu Perda, jadi bisa dijalankan dengan segera,” jelasnya.
Esty juga membeberkan, Pemkot juga menjalin kerjasama dengan LSM di Surabaya yang fokus pada penanganan korban virus HIV/AIDS. Ada pendamping yang akan membantu korban untuk meningkatkan kualitas hidupnya. “Ini masih terus berjalan, kalau ada korban atau informasi kami langsung turun dan menemui korban,” katanya.
Ketua Aisyiyah Jatim itu menambahkan, untuk tempat berobat bagi korban HIV/AIDS hanya ada di RSU dr Soetomo. Sampai saat ini puskesmas yang ada di tiap kecamatan belum bisa memberikan layanan pada para korban.

Tidak ada komentar: